Pengamat: Problem Mental Pragmatis Oportunis, Sebabkan Membelotnya Sebagian Anak Abah

Pengamat: Problem Mental Pragmatis Oportunis, Sebabkan Membelotnya Sebagian Anak Abah


Jak Buzz - Anies Baswedan  terjegal dalam  pilkada Jakarta. Ini membawa implikasi dalam sikap pengikut dan pendukungnya yang biasa disebut Anak Abah. Banyak orang bertanya bagaimana sikap mereka menghadapi realitas politik di mana Anies dipaksa untuk tidak bisa berkompetisi di Pilkada Jakarta padahal dia berpeluang berpeluang besar memenangkannya.

Analis politik dari Eksponen UI Agus Wahid menyatakan hal itu kepada KBA News, Minggu, 6 Oktober 2024 menyikap perubahan itu. Pertanyaannya adalah bagaimana Anak Abah harus bersikap. Haruskah menggunakan hak pilihnya terhadap salah satu pasangan kandidat yang ada itu? Atau, melawan dengan cara mencoblos semua pasangan kandidat gubernur-wakil gubernur Jakarta dan atau tak hadir ke TPS?

Beberapa waktu lalu, tambahnya,  sebelum pengumuman resmi pencalonan 29 September, terdapat suara gemuruh: Anak Abah siap mencoblos semua kontestan yang ada. Ada juga yang tidak mau menggunakan hak pilihnya. Tak menghadiri tempat pemungutan suara (TPS) pada 27 November mendatang. Semua itu karena kekecewaan atas dijegalnya  Abah secara picik, berkomplot secara terencana dan sistematis.

Namun, belakangan ini muncul suara lain. Di antara Anak Abah siap memberikan suaranya kepada salah satu pasangan kandidat gubernur-wakil gubernur. Yang menarik untuk kita telaah adalah sikap politik itu muncul dari sebagian masyarakat yang menyatakan diri sebagai kyai dan atau ustadz. Apakah mereka kyai sungguhan atau klaim?

“Bisa jadi, keduanya benar. Kita mencatat, menyasar kaum kyai dan atau ustadz merupakan artikulasi politik identitas. Pendekatan ini tak bisa dienyahkan dalam setiap kontestasi politik menuju kekuasaan. Salahkah penggunaan politik identitas itu? No. Proporsinya merupakan penerjemah kerangka teoritik sosial dari sebuah entitas budaya. Tak bisa dipungkiri, entitas kaum beragama dinilai sebagai patron politik yang cukup efektif untuk mempengaruhi sekaligus menjangkau basis umat,” kata alumni Satra Arab UI dan Master Hubungan Internasional FISIP UI itu.

Yang perlu kita telusuri lebih jauh, apakah perubahan sikap kaum kyai atau ustadz itu murni getaran jiwanya untuk mengambil peran konstruktif dalam politik praktis? Diragukan. Yang dominan muncul adalah sikap aji mumpung (carpedium). Ada “panen raya” politik per lima tahunan. Bisa pasang tarif mahal. Semakin dibutuhkan apalagi diperebutkan, nilai tarifnya makin tinggi. Bisa jual mahal.

Butuh Suara Anak Abah

Ditambahkan oleh Staf Ahli MPR RI itu, peta politik kompetitif menunjukkan, seluruh kandidat dan timnya sangat membutuhkan suara Anak Abah yang memang tidak kecil jumlahnya di tanah Jakarta ini. Kondisi obyektif inilah yang dieksploitasi oleh sebagian Anak Abah yang notabene tercatat sebagai kyai atau ustadz, yang tentu punya jamaah atau pengaruh tidak kecil di kalangan grass-root.

“Harus kita garis-bawahi, secara psikopolitik, sikap aji mumpung  merupakan sikap pragmatis bahkan oportunis saat melihat kesempatan yang sangat terbuka. Tidak bisa dipungkiri, iming-imingnya cukup mengggiurkan. Sikap “hubb addunya” cukup mudah untuk merontokkan iman yaitu konsistensi pro perubahan,” katanya lagi.

Setidaknya, ada dua hal mendasar yang perlu kita analisis lebih jauh dari panorama kaum kyai atau ustadz yang bisa dinilai membelot itu. Pertama, problem mental. Sebagian anak abah ini tergolong bukanlah barisan ideolog yang konsisten (istiqamah) pada garis perjuangan pro perubahan.

Kedua, cara pandang dan sikap keberagamaan. Barisan pembelot ini sudah mensekulerisasikan diri dari persoalan keyakinan (akidah keberagamaan). Implikasinya, persoalan politik hanya dipandang sebagai urusan duniawi semata, tak terkoneksi lagi dengan urusan ukhrawi. Bahkan, lebih ekstrim lagi pandangan politiknya: tak ada lagi pertanggungjawaban kelak, di akhirat nanti.

“Dua faktor tersebut di atas menjadi jalan mulus untuk berkamuflase politik, dari nuansa politik idealistik menuju politik pragmatis. Dan eksplorasinya terhadap kondisi yang ada membuat dirinya tidak malu untuk menunjukkan sikap oportunistiknya,” demikian Agus Wahid.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel